Rabu, 11 Desember 2013

Makalah PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MORAL



PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MORAL


TUGAS INDIVIDU
Makalah disusun dan disajikan untuk diskusi mata kuliah
Landasan Kependidikan Yang diampu oleh:
1. Dr. Ghufron Abdullah, M.Pd
2. Prof. Dr. A. Y. Soegeng, Ysh.

Oleh:
NAMA       :ASMAWATI
NPM           :13510075


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA ( S2 )
IKIP PGRI SEMARANG
2013 / 2014

KATA PENGANTAR

Dengan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “Pembelajaran Pendidikan Moral
Saya menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.Terutama kepada dosen pengampu Dr. Ghufron Abdullah, M.Pd dan Prof. Dr. A. Y. Soegeng, Ysh.Mata Kuliah Landasan Kependidikan
Tak ubahnya kata pepatah “ seindahnya bunga mawar tetap berduri “ demikian pula makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, saya telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, saya akan menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini, dan saya berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca budiman.

                                                       Demak, 22 November 2013

Asmawati







DAFTAR ISI

HALAMAN  JUDUL....………………………………………………………...…i
KATA PENGANTAR ……..………...….………………………………………..ii
DAFTAR ISI ..………………....………………………………….......................iii
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia-manusia yang cerdas, bertanggung jawab, bermoral, berkepribadian luhur, bertaqwa, dan memiliki kepribadian prestasi anak bangsa sudah banyak mengaharumkan nama bangsa di berbagai kancah internasional. Namun, masih banyak pendidikan yang belum mencapai tujuannya.
Hal ini diindikasikan dengan banyaknya kerusakkan moral di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika atau obat-obatan terlarang, tawuran pelajar, pornografi dan pornoaksi, pelecehan seksual atau perkosaan, merusak milik orang lain, perampasan, penipuan, aborsi, penganiayaan, perjudian, pelacuran, penbunuhan, dan lain-lain sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut sudah menjurus kepada tindakan kriminal.Ini sangat memprihatinkan masyarakat khususnya para orang tua dan para guru (pendidik), sebab pelaku-pelaku dan para korbannya adalah kaum remaja, terutama para pelajar dan mahasiswa.
Bila pembelajaran moral menggunakan model terintegrasi dalam semula bidang studi, maka semua guru adalah pengajar moral tanpa kecuali.Kelebihan model ini adalah, semua guru ikut bertanggung jawab, dan pembelajaran tidak selalu bersifat informative –kognitif   melainkan bersifat terapan pada tiap bidang studi. Sedangkan kelemahannya, jika terjadi perbedaan persepsi tentang nilai-nilai moral diantara guru, maka justru akan membingungkan individu. Pembelajaran moral dengan model diluarpengajaran, dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan diluar pengajaran.Model ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman moral melalui suatu kegiatan untuk membahas dan mengupas nilai-nilai hidup.
Melihat kondisi banyaknya penimpangan moral dikalangan anak-anak dan remaja saat ini, menjadikan tugas yang diemban oleh para guru dan pendidik dan perancang di bidang pendidikan moral sangaat rumit. Apapun model pembelajaran yang digunakan, para guru dihadapkan pada sejumlah variable kondisi yang berada diluar kontrolnya, yang harus diterima apa adanya. Satu variabel yang sama sekali tidak dapat dimanipulasi oleh guru atau perancang pembelajaran adalah karakteristik individu dan budayanya. Variable ini harus menjadi pijakan dalam memilih dan mengembangkan strategi pembelajaran yang optimal
Ilmuwan belajaran dan para guru juga menghadapi hal yang serupa dalam mengembangkan prinsip-prinsip pembelajaran moral. Ia harus menempatkan vaiabel-variabel kondisional ini, khususnya  variabel karakteristik individu, sebagai titik awal dalam mempresepsikan strategi pembelajaran moral. Bila tidak, maka teori-teori dan prinsip-prinsip pembelajaran yang dikembangkannya sama sekali tidak akanada gunanya bagi pelaksanaan pembelajaran.
Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran moral, rasionalitas moral atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu , suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Ini sering kali disebut dengan penalaran moral atau pemikiran moral atau pertimbangan moral, yang merupakan segi kognitif dari nilai moral.Segi kognitif ini perlu diajarkan kepada para individu.individu dibantu untuk mengerti mengapa suatu nilai perlu dilakukan.
Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral kedalam prilaku-prilaku nyata.Tindakan-tindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembangan dalam pergaulan sehari-hari.lingkungan sosial  yang kondusif untuk memunculkan tindakan-tindakan moral, ini sangat diperlukan dalam pembelajaran moral. Ketiga unsur tersebut yaitu, penalaran, perasaan, dan tindakan moral harus ada dan dikembangkan dalam pendidikan moral.Selain ketiga unsur tersebut, masyarakat pada umumnya menekankan pentingnya peranan iman atau kepercayaan eksistensial dalam meningkatkan moralitas kecenderungan terjadinya disintegrasinya dan saling curiga diantara anak bangsa ini dikarenakan adanya krisis kepercayaan yang melanda bangsa ini.Dikatakan ada hubungan yang paralel antara tingginya moralitas seseorang dengan iman atau kepercayaan eksistensinya. Faktor kebudayaan mempunyai peran dalam perkembangan moral, yaitu pada tempo atau kecepatan perkembangannya.

B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang di bahas pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian pendidikan ?
2.      Bagaiman hubungan antara moral dan pendidikan ?
3.      Mengapa perlu pembelajaran moral ?
4.      Apa saja tingkat – tingkat perkembangan moral?
5.      Bagaiman implikasi perkembangan moral dalam  pelaksanaan pembelajaran moral?

C.    Tujuan Makalah

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah memenuhi tugas individu mata kuliah Landasan Kependidikan dan untuk memahami tentang :
1.      Pengertian pendidikan
2.      Hubungan antara moral dan pendidikan
3.      Perlunya pembelajaran moral
4.      Tingkat – tingkat perkembangan moral
5.      Implikasi perkembangan moral dalam  pelaksanaan pembelajaran moral

D.    Manfaat Makalah

1.      Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis yaitu untuk menambah khasanah  ilmu manajemen pendidikan  terutama mata kuliah Landasan Kependidikan
2.      Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis bagi mahasiswa S2 Manajemen Pendidikan  IKIP PGRI Semarang  untuk referensi dan pendalaman materi  mata kuliah Landasan Kependidikan khususnya tentang Pembelajaran Pendidikan Moral.

 






















BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Pendidikan

Konsep pendidikan terkait erat  dengan istilah pedagogiek. Pedagogiek berasal dari kata bahasa Yunani pedagogues, dalam bahasa latin pedagogus lalu digunakan untuk pendidik  (pedagog) dan perbuatan  mendidik (pedagogi) , serta ilmu pendidikan (pedagogiek). Pedagogiek di indonesiakan menjadi pedagogic yang dalam bahasa inggrisnya pedagogy, yaitu the study of educational goals and proceses. Pendidikan jug adapt dilacak dari kata educare yang berasal dari e-ducare  yang artinya menggiring keluar.  E-ducare  dapat diartikan usaha pemuliaan manusia atau pembentukan manusia.
Definisi Pendidikan Secara Filosofis yaitu pendidikan dapat dipandang sebagai proses memanusiakan manusia lewat pembudayaan atau proses hominisasi dan humanisasi. Secara psikologis, pendidikan adalah proses pendewasaan anak muda oleh orang dewasa yang susila. Secara sosiologis, pendidikan dipandang sebagai proses pembentukan anggota masyarakat yang berjiwa sosial, berguna bagi masyarakat, bangsa dan Negara, yang berguna bagi orang lain. Secara etis, pendidikan merupakan proses transfer nilai – nilai kemanusiaan dalam pembentukan manusia dewasa yang susila.Secara Teologis, pendidikan dapat dipandang sebagai proses pembentukan warga surgawi ( civitas Dei)
Pendidikan Sebagai Proses Pembentukan diri dalam konsep pendidikan tersebut terjadi secara aktif, oleh si terdidik sendiri.Si terdidik bukan dibentuk melainkan membentuk dirinya sendiri dengan bantuan orang yang telah dewasa dan susila.Si terdidik merupakan manusia muda yang belum dewasa dan susila. Manusia muda adalah manusia yang masih harus dimanusiakan  atu manusia yang belum utuh. Maka tujuan pendidikan juga disebut sebagai pembentukan manusia seutuhnya.
Proses pendidikan sebagai pemberian bantuan secara individual,  sosialdan kepribadian yaitu secara individual, pendidikan memberikan bantuan untuk mengembangkan daya piker (intelektual), menguasai IPTEKS, mengambil keputusan, memecahkan masalah kehidupan, dan mengembangkan berbagai ketrampilan. Secara sosial, pendidikan memberikan bantuan mengembangkan kebersamaan, solidaritas, membangun komunitas dan memperkuat hubungan antar manusia. Secara kepribadian pendidikan membantu membentuk kekuatan batin, seperti harga diri, percaya diri, dan harapan masa depan.
Pendidikan  sebagai proses internalisasi nilai – nilai pendidikan adalah proses internalisasi (pembantinan) nilai – nilai kemanusiaan. Internalisasi nilai – nilai terjadi melalui proses transfer dan transformasi, pewarisan, dan pengembangan, kepada generasi penerus dan pengembang. Konsep inilah yang membedakannya dengan konsep pengajaran yang menstransfer informasi atau ilmu atau pengetahuan.Internalisasi nilai- nilai terjadi dengan sendirinya dan tidak diprogramkan.

B.     Hubungan Antara Moral dan Pendidikan

Secara umum diakui, bahwa terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan moral dan antara pendidikan dan agama.Bahwa pendidikan terletak dalam kekuatan moral dan agamanya.Pengajaran moral dan agama merupakan suatu yang esensial bagi pendidikan, bahwa pendidikan sungguh – sungguh tidak mungkin terjadi tanpa pengajaran moral dan agama atau pendidikan perlu melibatkan suatu isi moral dan agama.

1.      Teori Tentang Moral
Kata moralitas  berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat (Pratidarmanastiti,1991).Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila (Grinder,1978).sedangkan baron dkk.(1980) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan moral salah atau benar.Oleh magnis-suseno (1987)dikatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang.menurut magnis-suseno, sikap moral yang sebenrrnya disebut moralita.ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitaslah yang bernilai secara moral (magnis-suseno,1987).
Kohlberg tidak memusatkan perhatian pada prilaku moral, artinya apa yang dilakukan seorang individu tidak menjadi pusat pengamatannya. Ia menjadikan penalaran moral sebagai pusat kajiannya. Dikatakannya bahwa mengamati prilaku tidak menunjukan banyak mengenai kematangan moral. Seorang dewasa dengan seorang anak kecil barangkali prilakunya sama, tetapi seandainya kematangan moral mereka berbeda, tidak akan tercermin dalam prilaku mereka.
Penalaran moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan,sehingga dapat dinilai apakah tindakan tersebut baik atau buruk .kolbergn juga tidak memusatkan perhatian pada pernyataan (statement) orang tentang apakah tindakan tertentu itu benar atau salah. Alasannya, seorang dewasa dengan seorang anak kecil mungkin akan mengatakan sesuatu yang sama, maka disini tidak tampak adanya perbedaan antara keduanya. Apa yang berbeda dalam kematangan moral adalah pada penalaran yang diberikannya terhadap sesuatu hal ang benar atau salah.
Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur pemikiran bukan isi.dengan demikian penalaran moral bukanlah tentang apa yang baik atau yang buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Penalaran-penalaran moral inilah yang ,menjadi. Indicator dari tingkatan atau tahapan kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan daripada memperhatikan tindakan (prilaku) seseorang atau bahkan mendengar pernyatan bahwa sesuatu itu salah
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relative. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan penalaran moral seorang anak dengan orang dwasa, dan hal ini dapat diidentifikasi tingkatan perkembangan moralnya (Kohlberg dalam cremers, 1995c)
Kematangan moral  menuntut penalaran-penalaran yang matang pula dalam arti moral. Sesuatu keputusan bahwa sesuatu itu baik barangkali dianggap tepat, tetapi keputusan itu baru disebut matang bila dibentuk oleh suatu proses penalaran yang matang. Oleh sebab itu tujuan dari pendidikan moral adalah sesuatu yang harus dikembangkan, maka seharusnya para guru dan pendidik moral mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, penulis berpendapat bahwa penalaran moral pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal perasaan atau nilai , melainkan selalu mengandung tafsiran kongnitif yang bersifat konstruksi kongnitif yang aktif dengan memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu atau kelompok terhadap hal-hal yang baik.
Moral harus dikaitkan dengan tingkah laku manusia yang diputuskan dari suatu pandangan yang normatif, yaitu tentang apa yang seharusnya dilakukan, bebeda dari pa yang nyatanya dilakukan. Dalam teori utilitarianisme, intuisionisme, dan emotivisme : moral terkait dengan suatu hierarkhi aktivitas.  Pada tingkat logikal yang paling rendah adalah praktik – praktik moral seperti mengatakan kebenaran, menempati janji dan membayar hutang. Pada tingkat logikal yang lebih tinggi adalah teori – teori moral yang mencoba memberikan pertimbangan umum tentang atau suatu keputusan tentang kesimpulan tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam praktik.
Ahli filsafat  moral berkenaan dengan kebiasaan actual tentang bahasa moral dengan konsep – konsep seperti baik dan benar dan tugas, dan dengan validitas dan dapt diterimanya teori – teori  demi keadilan keputusan dan ketetapan moral.  Ahli filsafat moral memiliki suatu wawasan penting utuk diberikan kepada pendidik dan kepada ahli filsafat pendidikan.Filsafat moral merupakan suatu lautan yang luas dan belum secara memadai dikuasai dan bahwa ahli filsafat pendidikan harus berhati – hati agar tidak tenggelam di dalamnya.

2.      Guru Terkait Melaksanakan Moralitas Dalam Pembelajarannya.
Guru dalam perannya sebagai seorang pendidik terikat untuk melaksanakan moralitas dalam pembelajarannya. Guru terikat untuk menggunakan prosedur yang dapat diterima secara moral dan menunjukkan hormat terhadap siswanya sebagai pribadi. Tetapi mengajar dalam suatu cara yang dapat diterima secara moral tidaklah merupakan hal yang sama seperti terikat dalam pendidikan moral.

C.     Perlunya Pembelajaran Moral
Relevansi yang nyata tentang perlunya pembelajaran moral adalah bahwa tidak ada mata pelajaran yang akan diperhatikan sebagai bermanfaat dalam arti pendidikan bila hal itu tidak bermoral, tetapi mata pelajaran  walaupun dapat menjadi pembelajaran yang bermanfaat  walaupun mata pelajaran itu tidak memiliki dimensi moral.



Proses Pendidikan Moral (Pedagogi Moral)
 Proses pendidikan moral (pedagogi moral) merupakan bagaiman seorang anak diberi pengetahuan dan pemahaman. Pertama – tama, anak harus dimasukkan kedalam bahasa moral, anak harus diajar untuk menguasai konsep – konsep dan anak harus mempelajari aturan – aturan. Yang kedua , anak harus didorong untuk  bertindak sesuai dengan aturan – aturan. Anak harus didorong untuk mengatakan yang benar, memegang janji dan mempertimbangkan orang lain. Jadi membuat anak – anak bertindak dalam cara – cara yang dapat diterima secara moral, mematuhi kode moral dari masyarakat dan bertindak sesuai dengan harapan – harapan kebiasaan masyarakat.

D.     Tingkat – Tingkat Perkembangan Moral
Kesadaran moral anak berkembang dalam tingkatan – tingkatan yaitu :
1.      Suatu tingkatan awal tentang non moralitas, dalam hal mana anak tidakbenar – benar menyadari terhadap aturan – aturan atau kewajiban – kewajiban.
2.      Tingkatan dimana aturan – aturan diakui  dan secara umum ditaati tetapi dianggap sebagai sewenang – wenang ( asal saja ) dan sebagai mengadakan dari tidak ada, kepatuhan diberikan hanya sebagai suatu masalah dari ketentuan.
3.      Dimana aturan – aturan diterima sebagai kepastian dan  tidak dapatdiubah tetapi  tergantung pada suatu jenis persetujuan kelompok atau otoritas.
4.      Anak ingin mengetahui  pokokaturan, sebagai pembatasan yang membuat kehidupan social memungkinkan dan menginternalisasi aturan – aturan tersebut.



Implikasi pedagogisnya adalah bahwa, walaupun    sedikit yang dapat dilakukan disekolah tentang aktual dari perkembangan moral, merupakan suatu masalah kedewasaan atau tentang interaksi   sosial,  apa yang didapat adalah menyediakan  pengajaran moral yang sesuai  dengan tingkat  perkembangan yang dicapai anak pada suatu saat. Latihan moral sejajar dengan latihan intelektual .Ada titik-titik kesiapan dalam kehidupan moral sebagaimana ada dalam kehidupan intelektual, dan pendidik moral harus menyadari nya dan siap untuk mengorganisasi pengajarannya secara sesuai.
Otonomi moral merupakan dimana aturan-aturan  menjadi aturannya, aturan-aturan dilaksanakan karena ia mengakuinya sebagai aturan-aturan yang harusnya dilaksanakan sebagai bagian dari suatu  pertimbangan-pertimnangan dari ketentuan, pujian dan kutukan.

1.      Perbedaan Antara Pelatihan Moral Dan Pendidikan Moral
Pelatihan moral dibedakan dari pendidikan moral dalam hal bahwa pelatihan moral mencakup menjadikan siswa melakukan apa yang harus dilakukan sementara pendidikan moral mencakup memberikan suatu rasional yang memadai bagi apa yang dituntut sebagai tugas moral dan menjadikan siswa untuk menerima rasional tersebut yang memadai.   Pelatihan moral tidak harus lebih dulu dari pendidikan moral melainkan dapat berlangsung bersama
.
2.      Moralitas Sebagai Mata Pelajaran Tersendiri  Dan Terintegrasi
Moralitas bukanlah suatu bagian yang perlu masuk dalam semua mata pelajaran lain, melainkan lebih merupakan suatu jenis pendidikan khusus, atau unsur pokok dari suatu pendidikan umum, seperti matematika dan ilmu pengetahuan. Secara logis, pandangan sedemikian akan mencakupi pengakuan dari moralitas sebagai disiplin yang terpisah, disamping yang lain.
3.      Pendidikan Moral Lebih  Tepat Dilaksanakan Dalam Keluarga Dari Pada Disekolah – Sekolah.
Moral bukan telah  ada sejak lahir. Moral ada pada pribadi manusia sebagai potensi.Maka untuk menjadi pribadi yang bermoral, berkarakter, orang harus di didik.Ahli filsafat Prancis Gabriel Madiner (1895 - 1958), mengatakn bahwa tempat yang serasi untuk pendidikan moral adalah keluarga, bukan sekolah.  Memang benar, bahwa pribadi anak itu mencakup keseluruhan baik moralitas maupun akal budi, sehingga pendidikan  disekolah – sekolah yang hanya berorientasi  pada intelektualtilitas tidak dapat di benarkan. Bagaimanapun tugas utama pendidikandisekolah diarahkan pada akal budi, sementara pendidikan moral, hati nurani lebih menjadi tanggung jawab orang tua.  Dalam hal ini orang tua tidak utamanya memberikan pengetahuan moral, melainkan memberikan pelatihan ( pembiasaan ) dan lebih dari itu teladan (model). Pendidikan moral tidak mungkin berhasil, bila para pendidik tidak menjadi panutan (teladan . model dalm memenuhi kebutuhan lokal).

 

 

 

 

 

 

 

 


 





BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat  di simpulkan sebagai berikut :
1.      Pengertian pendidikan terkait erat  dengan istilah pedagogiek. Pedagogiek berasal dari kata bahasa Yunani pedagogues, dalam bahasa latin pedagogus lalu digunakan untuk pendidik  (pedagog) dan perbuatan  mendidik (pedagogi) , serta ilmu pendidikan (pedagogiek). Pedagogiek di indonesiakan menjadi pedagogik yang dalam bahasa inggrisnya pedagogy, yaitu the study of educational goals and proceses.
2.      Hubungan antara moral dan pendidikan terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan moral dan antara pendidikan dan agama.  Bahwa pendidikan terletak dalam kekuatan moral dan agamanya.
3.      Perlunya pembelajaran moral bahwa tidak ada mata pelajaran yang akan diperhatikan sebagai bermanfaat dalam arti pendidikan bila hal itu tidak bermoral.
4.      Tingkat – tingkat perkembangan moral yaitu 1.  suatu tingkatan awal tentang non moralitas,  2. aturan diakui  dan secara umum ditaati 3.  Dimana aturan – aturan diterima sebagai kepastian  4. Anak ingin mengetahui  pokok aturan.
5.      Implikasi perkembangan moral dalam  pelaksanaan pembelajaran moral disekolah disesuaikan perkembangan moral itu sendiri yang diorganisasikan pendidik secara relevan.

B.     Saran

Untuk mewujudkan pendidikan moral yang benar-benar dapat diterapkan atau yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai ada baiknya jikalau pendidikan moral yang diberikan tersebut tidak hanya berupa materi akan tetapi juga berupa pelaksanaan yang baik (sebagai teladan atau contoh) yang dilaksanakan oleh pendidik, orangtua, masyarakat dan pemerintah.


DAFTAR PUSTAKA
C.Asri,Budiningsih. Pembelajaran Moral.Jakarta. Penerbit : Rineka Cipta. 2004.
Desti Asriyani.  2012  Pendidikan Moral Di Kalangan  Remaja Dan Pengaruh Globalisasi ( www. Blog Archive dikutip pada 20 Oktober 2013 jam 21.30 WIB )
Maspupatun Imas. 2012.Pembelajaran Karakteristik Moral Dan Akhlak.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
Soegeng Ysh,AY dkk. 2013. Landasan Pendidikan Karakter. Semarang : IKIP
PGRI Semarang Press.
Sudarsono. 2004. Kenakalan Remaja. Jakarta. Penerbit : Rineka Cipta.
Sujarkawi. 2006.  Pembentukan Kepribadian Anak (Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri). Jakarta. Penerbit : Bumi Aksara.