DESAKU MENANTI
PROGRAM PENANGANAN GELANDANGAN, PENGEMIS DAN ANAK JALANAN TERPADU
MELALUI PENGUATAN KETAHANAN EKONOMI KELUARGA BERORIENTASI DESA*
Cite:
Rohman, A. (2011). 'Program Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak
Jalanan Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga
Berorientasi Desa'. Disampaikan Pada Acara Workshop Penanganan
Gelandangan di Perkotaan. Jakarta, 14 Oktober 2011. Jakarta: Kementerian
Sosial RI.
A. Latar Belakang
Gelandangan dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang
dihadapi di banyak kota, tak terkecuali di negara maju (Schwab, 1992 :
408). Permasalahan gelandangan dan pengemis sebenarnya telah lama
mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah maupun LSM. Evers & Korf (2002 : 294) bahkan secara ekstrim
mengibaratkan gelandangan sebagai penyakit kanker yang diderita kota
karena keberadaannya yang mengganggu keindahan dan kenyamanan kota,
namun begitu susah dan kompleks dalam penanggulangannya.
Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang artinya selalu
berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap (Suparlan,
1993 : 179). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang
berasal dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun
tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan
spesialisasi dan tidak mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka
bekerja serabutan dan tidak tetap, terutamanya di sektor informal,
semisal pemulung, pengamen dan pengemis. Weinberg (1970 : 143-144)
menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk dalam
kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi
dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini,
Rubington & Weinberg (1995 : 220) menyebutkan bahwa pemberian stigma
negatif justru menjauhkan orang pada kumpulan masyarakat normal.
Mereka yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke
kampung halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan.
Mereka hidup di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang
dianggap murah atau tidak perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya
tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke
daerah asalnya, sementara pemerintah kota tidak mengakui dan tidak
mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu identitas. Sebagai
akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari pemerintah,
yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out of
wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi
generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran.
Sebagai generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya
di desa dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh dunia
pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi
anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan
asosial (Rohman, 2004 : 72-74).
B. Data dan Fakta
Dalam upaya untuk merumuskan program penanganan yang tepat untuk
gelandangan, pengemis dan anak jalanan, ada baiknya disampaikan data dan
fakta sebagai berikut :
1. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi
(Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah
gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057
orang, dan anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data yang dikutip memang
masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat pendataan pada
kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi. Dapat
dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg)
dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk
pegangan sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat
dipergunakan.
2. Angka gelandangan, pengemis, dan anak jalanan diperkirakan naik,
mengingat daya tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang
perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap
menjadi tanah impian bagi orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di
kota, mengingat kecenderungan kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu
pada gejala ‘satu kota’ yaitu ibu kota Negara. Sebagai contohnya, kota
di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah Bangkok, di Malaysia
adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.
3. Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah
kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di
perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah
kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak
jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola
penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara
hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan.
Inilah sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan
ilmuwan sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut
‘Kampung Besar’ (the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya
yang lebih mencerminkan orang kampung.
4. Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota, seperti di
Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI No.
11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007
yang melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan
aktivitas yang mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli
pedagang asongan dan memberi sedekah pada pengemis di jalanan di
Jakarta. Pemerintah DKI juga telah mengadakan kerjasama lintas sektoral
yang melibatkan berbagai instansi seperti Tramtib, Kepolisian, maupun
Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam penanganan gelandangan, untuk
selanjutnya mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di
panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja masalah gelandangan,
pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta dan kota-kota
lainnya.
5. Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah modal,
keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah
mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan
pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun
layanan transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota. Mereka
berpandangan bahwa dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang
tanpa harus bekerja keras. Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan
layanan panti-panti maupun layanan transmigrasi sebagai suatu ‘selingan
hidup’ dimana mereka bisa numpang makan minum gratis di panti dan pindah
dari satu panti ke panti lainnya manakala bosan, dan hal inipun
diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan baik. Bagi yang
bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan rumahnya
ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.
C. Filosofi dan Trend Penanganan Masalah Tuna Sosial
Permasalahan, gelandangan, pengemis dan anak jalanan memiliki dimensi
yang sangat kompleks. Oleh karena itu sudah seyogyanya apabila program
penanganan yang disusun mempertimbangkan aspek sosial filosofi dan trend
penanganan yang sedang berkembang saat ini :
1. Persoalan Hulu
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam
urbanisasi. Intinya jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah
gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat
diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam
mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya
preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi
mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke
kota-kota besar. Ini bisa dilakukan dengan melakukan kegiatan survey
ataupun pendataan secara langsung ke kantong-kantong pemukiman liar,
maupun dengan meminta data sekunder dari Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik kota yang
sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari
para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan
diseminasi tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya
preventif dalam menyajikan data dan fakta obyektif susahnya merantau di
kota. Paling tidak, masyarakat di pedesaan harus disadarkan mengenai
kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus munculnya gelandangan pada
umumnya dimulai dari para perantau yang gagal mengadu nasib, yang dibawa
ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman terdekatnya
(chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan sendiri
(minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
2. Persoalan Hilir
Kaum urban yang dating ke kota-kota, karena minim pengalaman,
pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka mencari
’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai ’Anak’ (client). Mereka
bekerja pada patron dengan upah minim yang penting bisa survive
(mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang dituju
adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong,
pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka
kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang
dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan
lahan dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak
oknum pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di
tempat-tempat tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen,
petugas PJKA yang justru mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah
kardus yang kemudian menjadi semi permanen karena sering pulang
kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Pada titik ini pemerintah kota
diharapkan dapat secara konsisten mengawasi ruang-ruang yang rawan
penyerobotan secara liar.
Persoalan kemudian muncul manakala kehidupan yang sulit memaksa mereka
bekerja secara serabutan, baik sebagai pemulung, pelapak, tukang service
elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang todong, pencuri, pemungut
sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan menjadi mengemuka
manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara tidak
sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat
kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi
ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan
barang yang aneh di lingkungan tersebut.
Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk
dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam
keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi
ataupun layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan
karakteristik pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan
pengemis juga terkesan setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar
kabar akan adanya layanan khusus gelandangan dan pengemis dipastikan
angka urbanisasi ke kota akan meningkat. Itulah sebabnya pemerintah kota
cenderung lebih memilih tindak represif daripada rehabilitatif. Ini
dibuktikan program keluarga harapan (PKH) yang dilaunching Kementerian
Sosial pada tahun 2008 tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang
dilakukan untuk gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron,
pihak kepolisian, pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal
gelandangan dan pengemis.
3. Persoalan Anak Jalanan
Kajian sosial filosofis pada anak jalanan membuktikan bahwa layanan
harus berpusat atau berbasis pada keluarga. Tugas utama anak adalah
sekolah dan bermain. Melalui penguatan ketahanan ekonomi keluarga
diharapkan anak dapat bersekolah kembali dan memperoleh pendidikan
dengan baik, layaknya anak-anak yang hidup normal lainnya.
Banyak program untuk anak jalanan yang langsung difokuskan kepada anak
tetapi tingkat keberhasilannya rendah, dikarenakan bahwa usia anak
adalah usia dimana seseorang belum bisa menggunakan nalarnya secara
benar. Mereka masih mudah terpengaruh dengan teman sebayanya dan belum
memahami arti kehidupan secara utuh. Hal ini terlihat dari banyaknya
anak jalanan yang mengikuti pelatihan keterampilan (vocational
training), namun mudah sekali keluar, atau mereka sudah menyelesaikan
pendidikannya namun kembali ke jalan. Kajian sosial filosofis anak
membuktikan bahwa seseorang di jalan baru kemungkinan sukses mengikuti
program pelatihan keterampilan jika paling tidak berusia 21 tahun. Pada
tahapan umur ini sesorang sudah dihadapkan pada pilihan logis yaitu
ingin bekerja dan menjadi orang baik-baik, atau tetap di jalan dan
menjadi preman. Intinya tetap sama yaitu intervensi yang tepat untuk
anak adalah dengan kembali ke sekolah.
Semua program layanan akan lebih efektif jika melalui keluarga. Di
sinilah keluarga diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan dan
pendidikan informal dalam keluarga demi kualitas sumber daya manusia
(SDM) anak-anaknya di masa mendatang. Trend atau kecenderungan dalam
pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial lebih mengedepankan
perlindungan hak-hak anak (child rights) demi kepentingan terbaik anak
(the best interest of the child).
D. Program Yang Diajukan
1. Nama Program
Nama program yang diajukan adalah ‘Desaku Menanti’ (Program Penangananan
Gelandangan dan Pengemis Terpadu Melalui Penguatan Ketahanan Ekonomi
Keluarga Berbasis Desa).
2. Tujuan
Adapun tujuan dari Program Desaku Menanti adalah mengembangkan model
penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan, agar hilang secara
permanen di kota-kota besar. Program ini adalah inovasi dari program
penanganan gelandangan, pengemis dan anak jalanan yang selama ini
dilakukan, yaitu dengan memfokuskan semua layanan di daerah asal para
gelandangan dan pengemis (berbasis desa). Disamping itu, semua kegiatan
akan melibatkan seluruh komponen di daerah asal, seperti pemerintah
daerah, pengusaha (CSR), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Inti dari
program ini adalah menciptakan keteraturan sosial melalui peningkatak
kontrol sosial dari masyarakat.
3. Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam program Desaku Menanti adalah :
a. Gelandangan.
b. Pengemis.
c. Anak Jalanan.
d. pemerintah Daerah.
e. Lembaga Pendidikan.
f. Dunia Usaha (CSR).
g. Masyarakat.
4. Jenis Kegiatan
Program Desaku Menanti adalah program yang komprehensif dalam
penghapusan gelandangan dan pengemis. Oleh karena itu kegiatan-kegiatan
yang ada pun, baik preventif maupun kuratif dilakukan secara bersamaan,
simultan, dan berkesinambungan. Mengingat program ini adalah uji coba
pengembangan model, untuk keberlanjutannya (sustainability), diharapkan
pada tahap replikasi dapat mengadvokasi pemerintah daerah supaya program
ini ke depan dapat dibiayai dengan menggunakan APBD.
a. Kegiatan Preventif
Kegiatan preventif dilakukan di tempat-tempat yang potensial menjadi
daerah pengirim gelandangan, pengemis, maupun anak jalanan. Kegiatan ini
dipandang penting dengan asumsi mencegah lebih baik daripada mengobati.
Kegiatan difokuskan pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) atau wanita
rawan sosial ekonomi.
1) Kampanye Sosial di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Penentuan lokasi dilakukan dengan mempertimbangkan statistik daerah asal
gelandangan dan pengemis terbanyak di Jakarta. Adapun kegiatan dalam
kampanye sosial meliputi :
a) Rapat koordinasi dengan Pemerintah Daerah di sepuluh lokasi.
b) Penyuluhan sosial intensif langsung ke masyarakat di sepuluh lokasi. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui lain :
- Pemutaran film dokumenter yang berhubungan dengan gelandangan dan pengemis di desa-desa.
- Penyebaran pamflet dan leaflet tentang gelandangan dan pengemis, serta
bahaya merantau ke kota tanpa bekal keterampilan, pendidikan dan modal.
- Gelar panggung/drama yang berkisah tentang kesulitan hidup di kota besar.
- Penyuluhan sosial dengan melibatkan tokoh agama dan tokah masyarakat yang peduli pada permasalahan gelandangan dan pengemis.
- Temu duta anti gelandangan dan pengemis dengan masyarakat desa.
2) Pemberian Bantuan Ekonomi Langsung di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang
dilakukan melalui kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis
bantuannya disesuaikan dengan mata pencaharian penduduk setempat.
Sasarannya adalah RTSM dan wanita rawan sosial ekonomi.
3) Pemberian Bantuan Perumahan di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Konsep pemberian bantuan perumahan ada dua model. Pertama, melalui
program transmigrasi yang berkoordinasi dengan Kemenakertrans. Kedua,
bantuan perumahan sangat sederhana di kampung mereka masing-masing.
Konsepnya untuk yang pertama melalui koordinasi saja. Sedangkan konsep
kedua melalui advokasi ke pemerintah daerah dan Kementerian Perumahan
dan Permukiman untuk penyediaan lokasi tanah dan pendirian bangunan.
Melalui bantuan perumahan ini diharapkan nilai-nilai sosial dan
kemasyarakatan serta arti penting rumah sebagai simbol utama keluarga
dapat kembali ditumbuhkan.
4) Pemberian Bantuan Peralatan Sekolah di sepuluh titik lokasi (Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur)
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk
anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam
satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.
b. Kegiatan Dukungan
1) Pemilihan ’Duta Anti Gelandangan dan Pengemis’
Pemilihan ’duta anti gelandangan dan pengemis’ dapat dipilih atau
ditentukan oleh Kementerian Sosial di Jakarta. Diharapkan ’duta anti
gelandangan dan pengemis’ berasal dari kalangan artis yang memiliki
background keagamaan yang relatif kuat, mampu berkomunikasi dengan baik
dengan masyarakat kelas bawah, dan memiliki komitmen yang kuat dalam
gerakan penghapusan gelandangan dan pengemis.
2) Pemberian Penghargaan Bagi ’Kota Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Penghargaan/trophy akan diberikan kepada kota-kota yang memiliki
komitmen yang besar dalam penghapusan gelandangan dan pengemis di
daerahnya. Piagam penghargaan ’Kota Bersih Gelandangan dan Pengemis’
langsung diberikan oleh Menteri Sosial setiap setahun sekali.
3) Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’
Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan Pengemis’ dapat dilakukan oleh
Presiden RI, Wakil Presiden RI, maupun Menteri Sosial RI disesuaikan
dengan kebutuhan dan keuangan. Pencanangan ’Hari Bebas Gelandangan dan
Pengemis’ sudah dipastikan akan mengundang simpati publik, terutama
kalangan media baik cetak maupun elektronik.
c. Kegiatan Rehabilitatif
Kegiatan rehabilitasi sosial selama ini dilakukan di kota-kota besar
seperti Jakarta, melalui panti-panti gelandangan pengemis milik
Kementerian Sosial maupun Pemda DKI Jakarta. Akan tetapi jumlah
gelandangan dan pengemis tidak pernah berkurang. Berkenaan dengan ini
sudah seyogyanya apabila kegiatan rehabilitasi sosial dilakukan di
daerah asal gelandangan dan pengemis, yang difokuskan pada penguatan
ketahanan ekonomi keluarga dan kontrol sosial masyarakat.
1) Penjangkauan dan Pemulangan Gelandangan dan Pengemis
Kementerian Sosial bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta (Pemda DKI
Jakarta sebagai pilot project) menyediakan alokasi dana untuk pemulangan
gelandangan dan pengemis ke daerah asal. Gelandangan dan pengemis yang
akan dipulangkan adalah hasil dari operasi yustisi yang dilakukan oleh
Kementerian Sosial, Dinas Sosial dan Tramtib DKI Jakarta. Dalam Program
Desaku Menanti, uji coba pemulangan dilakukan di 3 propinsi yaitu Jawa
Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari sinilah 10 lokasi di 3 propinsi
pada kegiatan preventif dilakukan dengan memperhitungkan daerah yang
potensial mengirimkan gelandangan dan pengemis ke DKI Jakarta. Dalam
pemulangannya, pendamping (pekerja sosial) dari Kementerian Sosial
berkoordinasi dengan Dinas/Instansi Sosial di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota, bahkan sampai dengan tingkat kecamatan dan desa.
Pemulangan dilakukan sampai di tingkat desa dengan mengundang tokoh
masyarakat setempat. Proses ini dilakukan agar para gelandangan dan
pengemis malu atau jera. Pemulangan ini juga sekaligus sebagai upaya
diseminasi dan penyuluhan sosial yang sifatnya preventif untuk masa
mendatang. Kegiatan ini sekaligus untuk menggugah kepedulian masyarakat
mengenai kondisi ekonomi warganya, dan untuk menerima kembali mantan
gelandangan dan pengemis dengan baik (reintegrasi sosial).
2) Pemberian Pelatihan Keterampilan melalui ’Rumah Kerja Desaku Menanti’ (RKDM)
Para gelandangan dan pengemis yang sudah dipulangkan kemudian
mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai minat dan bakatnya di ’Rumah
Kerja Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota.
Biaya pelatihan ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan pemda setempat
(sharing cost). Bagi mereka yang telah lulus diminta surat kontrak untuk
tidak menggelandang atau mengemis lagi. Mereka yang lulus kemudian
diberikan bantuan stimulan untuk modal usaha sesuai dengan keterampilan
yang dimilikinya.
3) Pemberian Bantuan Stimulan untuk Eks Gelandangan dan Pengemis
Setelah dipulangkan, mantan gelandangan dan pengemis yang yang tidak
memungkinkan mengikuti pelatihan keterampilan melalui ’Rumah Kerja
Desaku Menanti’ (RKDM) yang ada di Dinas Sosial Kabupaten/Kota akan
mendapatkan bantuan stimulan langsung. Bantuan ini berupa bantuan
stimulan usaha ekonomi produktif (UEP) yang dilakukan melalui
kelompok-kelompok usaha bersama (KUBE) yang jenis bantuannya disesuaikan
dengan mata pencaharian penduduk setempat. Bagi mereka yang telah lulus
diminta surat kontrak untuk tidak menggelandang atau mengemis lagi.
4) Layanan Perumahan/Transmigrasi
Layanan ini diberikan pada mereka yang mempunyai mental kuat untuk
mengubah diri, diperkirakan tidak mempunyai kerabat lagi di desa, dan
membutuhkan lingkungan baru, sementara usianya masih masuk dalam
kategori usia produktif. Kegiatan ini perlu bekerja sama dengan
Kementerian Perumahan dan Permukiman atan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Pusat maupun yang ada di Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
Bagi mereka yang masih punya keluarga di desa akan dibangunkan rumah
sederhana di daerah asalnya, dan bagi yang sudah tidak punya keluarga
akan ditawarkan transmigrasi atau dibangunkan perumahan sangat sederhana
di desanya terdahulu. Intinya, mereka mempunyai pilihan dan tidak ada
paksaan.
5) Pengembalian Anak ke Keluarga dan Bangku Sekolah
Kegiatan ini berupa bantuan stimulan berupa peralatan sekolah untuk
anak-anak yang meliputi seragam, sepatu, tas, buku dan alat tulis dalam
satu paket. Besarnya disesuaikan dengan alokasi yang tersedia.
Pendamping juga melakukan advokasi ke lembaga pendidikan baik formal
maupun nonformal untuk menerima anak kembali bersekolah. Khusus untuk
anak jalanan yang perorangan (tanpa keluarga), mereka dipertemukan
kembali dengan keluarga ataupun kerabat dekatnya (reunifikasi).
5. Tahapan Kegiatan
a. Penjangkauan
- Untuk penjangkauan program preventif dilakukan di 10 titik lokasi (3
propinsi) dengan memperhitungkan stastistik daerah pengirim (sending).
- Untuk penjangkauan program rehabilitatif dilakukan melalui operasi
yustisi, bekerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Mereka yang terjaring
akan ditampung di panti-panti gelandangan dan pengemis milik pemerintah.
b. Registrasi dan Identifikasi
- Untuk program preventif, di 10 titik lokasi (3 propinsi) yang telah
ditentukan, didata dengan lengkap RSTM dan wanita rawan sosial ekonomi
yang ada.
- Untuk program rehabilitatif, pendataan dan identifikasi dilakukan setelah operasi yustisi dilakukan.
c. Penentuan Layanan Sosial
- Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
- Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat.
d. Pemberian Layanan Sosial
- Untuk program preventif, selanjutnya berdasarkan hasil needs
assessment, diberikan layanan yang sesuai (kampanye sosial, bantuan
ekonomi langsung, bantuan perlengkapan sekolah).
- Untuk program rehabilitatif, selanjutnya berdasarkan hasil registrasi
dan identifikasi ditentukan layanan sosial yang tepat (pemulangan,
pemberian pelatihan keterampilan di RKDM, bantuan perumahan, bantuan
ekonomi langsung, bantuan untuk kembali ke sekolah dan reunifikasi).
e. Tindak Lanjut
- Untuk program preventif, selanjutnya dilakukan tindak lanjut dalam
rangka penguatan ketahanan ekonomi keluarga, seperti advokasi melalui
kerja sama lintas sektor dunia usaha (KLSDU).
- Disusun buku khusus yang memuat pengalaman hidup mantan gelandangan
dan pengemis dengan mengedepankan prinsip kerahasiaan (confidentiality)
sebagai bahan kampanye sosial di masa mendatang.
f. Terminasi
Keluarga mantan gelandangan dan pengemis diadvokasi kembali agar dapat
menjadi keluarga binaan atau dapat mengakses program PKH. Proses rujukan
ini dengan meminta bantuan dari lembaga-lembaga terkait di daerah.
g. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang dan intensif untuk meminimalisir resiko kegagalan program.
6. Koordinasi dan Kerjasama
Koordinasi dilakukan secara terus menerus oleh Kementerian Sosial,
Pemerintah Daerah, LSM dan masyarakat secara luas (tokah masyarakat dan
tokoh agama). Kerja sama juga dilakukan dengan media nasional maupun
lokal untuk mendukung Program Desaku Menanti (para gelandangan dan
pengemis kembali ke desa/kampung halamannya).
7. Indikator Keberhasilan
Adapun indikator keberhasilan dari Program Desaku Menanti adalah sebagai berikut :
a. Mantan gelandangan dan pengemis ataupun mereka yang rawan menjadi
gelandangan dan pengemis dapat menyelesaikan proses layanan sampai
tuntas.
b. Ketahanan ekonomi keluarga meningkat dan mereka dapat hidup kembali normal di desa.
c. Pemerintah daerah semakin peduli dan berkontribusi pada Program
Desaku Menanti dengan mengalokasikan dana untuk pengembangan dan
keberlanjutan program dimasa mendatang.
d. Masyarakat mendukung penuh pelaksanaan Program Desaku Menanti dan
berpartisipasi aktif baik dalam sosialisasi maupun pengawasan.
e. Kesadaran orang tua meningkat dan ikut berperan aktif dalam mendorong
anaknya untuk kembali ke dunia pendidikan dan terus memotivasi anak
untuk melanjutkan sekolahnya (untuk anak jalanan).
f. Intitusi/lembaga penyelenggara pendidikan dapat lebih memahami
permasalahan yang menghambat proses belajar anak sehingga dapat
memberikan perlakukan yang tepat sesuai dengan karakteristik anak (untuk
anak jalanan).
E. Analisis Program
1. Kekuatan
- Program Desaku Menanti tidak hanya berfokus kepada kegiatan rehabilitatif namun juga mencakup kegiatan preventif.
- Kegiatan-kegiatan dalam Program Desaku Menanti berbasis desa atau
dilakukan di daerah asal sehingga kemungkinan menggelandang kembali
sehabis menerima layanan relatif kecil.
- Program Desaku Menanti dipastikan akan mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak, baik pemerintah pusat, daerah, LSM maupun masyarakat
luas, mengingat permasalahan gelandangan dan pengemis adalah masalah
kemiskinan yang sudah menjadi isu nasional.
2. Kelemahan
- Program Desaku Menanti membutuhkan pendamping yang cakap, profesional
dan penuh dedikasi serta memiliki pengalaman dalam menangani gelandangan
dan pengemis.
- Program Desaku Menanti ini hanya menjangkau di sepuluh titik lokasi di
3 propinsi (Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur). Artinya untuk
daerah luar Jawa dapat dikatakan belum tersentuh.
- Program Desaku Menanti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan meminta keseriusan dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya.
3. Peluang
- Program Desaku Menanti searah dengan kebijakan Millenium Development
Goals (MDGs) sehingga besar kemungkinan akan disupport oleh
lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang kemiskinan.
- Program Desaku Menanti berbasis desa sehingga pelaksanaannya pun
dilakukan di daerah asal, sehingga tidak menambah rumit pemerintah kota.
- Program Desaku Menanti dilakukan di desa asal sehingga pembinaan
mental pun dapat dilakukan dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal.
4. Ancaman
- Resistensi atau penolakan dari patron (pelindung) para gelandangan dan
pengemis yang ironisnya justru mendapatkan dukungan dari oknum
pemerintah.
- Adanya stereotype negatif pada keluarga mantan gelandangan dan
pengemis baik oleh masyarakat maupun lembaga pendidikan tempat anak akan
bersekolah.
- Jika Pemerintah Daerah tidak konsisten atau memiliki komitmen yang besar, program ini terncam gagal.
F. Pembiayaan
Usulan pembiayaan akan diajukan setelah proposal disetujui.
G. Penutup
Demikianlah garis besar mengenai Program Desaku Menanti (Program
Penanganan Gelandangan, Pengemis dan Anak Jalanan Terpadu Melalui
Penguatan Ketahanan Ekonomi Keluarga Berbasis Desa). Selain berupaya
menghapus gelandangan dan pengemis di perkotaan, program ini juga dapat
menumbuhkan kepedulian sosial dan kontrol sosial dari pemerintah daerah
dan masyarakat. Disamping itu, Program Desaku Menanti membuka peluang
bagi para sarjana yang ingin kembali dan mengabdi ke desa dapat
bergabung dalam program ini. Program ini juga bisa bersinergi dengan
program pemerintah lainnya seperti PKH, PKSA maupun Pusdaka (Pusat
Pemberdayaan Keluarga).
Bibliografi:
Evers, Hans Dieter & Korff, Rudiger.
2002 Urbanisme di Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Rohman, Arif.
2004 Kehidupan Ekonomi Orang Gelandangan di Senen. Tesis tidak
diterbitkan. Jakarta : Kajian Pengembangan Perkotaan (KPP), Universitas
Indonesia.
Schwab, William A.
1992 The Sociology of Cities. New Jersey : Prentice Hall.
Suparlan, Parsudi.
1993 ”Orang gendangan di Jakarta : Politik pada golongan termiskin”,
dalam Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Rubington, Earl & Weinberg, Martin S.
1970 The Study of Social Problems. Oxford : Oxford University Press.
Weinberg, S. Kirson.
1971 Social Problems in Modern Urban Society. New Jersey : Prentice Hall.
*Diajukan untuk mensukseskan program 100 hari Menteri Sosial RI dalam
penghapusan gelandangan, pengemis dan anak jalanan di perkotaan tahun
2009.
**Penulis adalah staff di Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial (Dit. PRSTS), Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial, Kementerian Sosial RI. Alumni S2 Kajian Perkotaan Universitas
Indonesia dan S2 Kajian Wanita University of New England Australia. PhD
Student di Charles Sturt University Australia. Email :
arif_rohman@hotmail.com, arohman@csu.edu.au
3 komentar:
Links to this post